BUJANGGA WAISNAWA
Sampai saat ini, masih banyak umat yang belum tahu secara jelas tentang status kepanditaan umat Hindu di Bali. Sejumlah contoh bisa dikemukakan, yakni masih banyak umat yang mengira bahwa pandita yang beraliran "Siwa" hanyalah pedanda (peranda). Demikian pula I Senggu sering disamakan dengan gelar Ida Bhujangga yang memiliki sebutan Sangguhu Bhujangga.
Yang menjadi biang keladi salah kaprah itu adalah perbuatan I Kelik, yang mau muput upacara besar yang digelar raja, padahal ia bukan pandita. Pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong, memang ada kisah yang menarik. Pada suatu hari, Dalem menggelar upacara yang cukup besar. Untuk me-muput upacara tersebut, Dalem mengundang Danghyang Nirartha yang juga bergelar Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh.
Ketika utusan raja sampai di pasraman, yang ada hanya I Kelik, abdi setia Danghyang Nirartha. Utusan Dalem mengira I Kelik sebagai pandita dan mohon agar bersedia muput upacara. I Kelik yang dikira pandita justru senang menerima undangan itu. Ia tampak sangat percaya diri, karena ia juga banyak menghafal mantra dan tahu pula tata cara muput upacara. Pengetahuan dan keterampilannya itu ia dapatkan dari Danghyang Nirartha.
Sedang asyiknya I Kelik mamuja, tiba-tiba datanglah Danghyang Nirartha, pandita yang seharusnya muput upacara tersebut. Danghyang Nirartha maupun Dalem Waturenggong pun sama-sama terkejut. Merasa dibohongi, Dalem Waturenggong murka dan mengusir I Kelik dan bahkan diberi hukuman mati. Namun berkat sifat pengasih Danghyang Nirartha, I Kelik selamat dari hukuman mati. Dalem memberikan pengampunan atas permohonan Danghyang Nirartha.
Oleh karena pernah dikira atau di-sengguh sebagai pandita, maka I Kelik diganti namanya menjadi I Sengguh yang lambat laun menjadi I Senggu. Jauh lama kemudian, I Kelik malah diberikan hak melaksanakan tugas sebagai pandita pemahayu jagat, seperti yang dilakukan Ida Bhujangga. Namun dalam masyarakat, rupanya sebutan "sengguh" tadi disamakan dengan Sangguhu, lebih-lebih bagi orang yang tidak melakukan penelitian lebih jauh. Anggapan tersebut jelas keliru dan secara psokologis tidak menunguntungkan.
Dalam buku ini dijelaskan, sebutan Sangguhu Bhujangga bukanlah berasal dari kata sengguh, karena artinya jauh berbeda. Sebagaimana ditulis buku ini (hal.118), kata sangguhu berasal dari (1) Sang Guhung atau Sang Guwung; (2) Sang Guru. Demikian pula, warga Bhujangga Waisnawa bukanlah soroh Senggu. Penjelasan tentang ini dimuat pada bab III.
Pengertian Sekte
Buku yang terdiri dari enam bab ini, selain bermaksud meluruskan salah kaprah tadi, juga mengetengahkan munculnya sekte-sekte dalam agama Hindu, pengertian tentang Sekte Waisnawa dan sejarah perkembangannya dari kitab suci Weda, masa Sutra dan Brahmana, Upanisad, Isihasa, Purana, Wedanta, sampai perkembangannya di Indonesia termasuk Bali.
Ada juga penjelasan tentang Babad Warga Bhujangga Waisnawa, analisa tentang moksa, pura yang erat kaitannya dengan kedatangan Maha Rsi Markandheya dan Rsi Waisnawa, serta keberadaan warga Bhujangga Waisnawa di Bali.
Tidak kalah menariknya, buku ini juga menjelaskan pengertian Sang Trini dan kedudukan Bhujangga Waisnawa dalam Sang Trini. Dijelaskan, bahwa Sang Trini adalah sebuah konsep Siwaistis yang terdiri dari tiga unsur yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Ketiga golongan pandita ini terdiri dari (1) Unsur Siwa yang kemudian disebut Sang Brahmana Siwa; (2) unsur Sada Siwa, kemudian disebut Sang Bodda dan (3) unsur Parama Siwa kemudian disebut Sang Bhujangga. Ketiga pandita inilah yang kemudian disebut Sang Trini atau Tri Sadaka yang artinya tiga pandita yang tergabung dalam konsep Siwa Siddhanta (hal.173).
Buku ini selain patut disimak oleh warga Bhujangga Waisnawa, tentu juga sangat penting dipelajari bagi para peneliti atau kalangan akademis. Para peneliti sosial atau sosiologi agama, teologi Hindu akan mendapatkan informasi tentang perkembangan agama Hindu di Bali, khususnya tentang Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, yang merupakan bagian dari konsep Saiwa Siddhanta Indonesia.
Selain itu, pembaca juga diberi informasi tentang sejumlah lontar yang memuat berbagai hal. Informasi itu akan terasa penting jika ada yang ingin meneliti lebih jauh tentang lontar tersebut, misalnya untuk penulisan karya ilmiah, baik itu skripsi, tesis atau bahkan desertasi.
Juga ada silsilah asal kelahiran Warga Bhujangga Waisnawa. Buku ini juga dilengkapi sejumlah foto para pandita dari kalangan warga Bhujangga Waisnawa. Sejumlah bentuk genta dan sarana khas yang digunakan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa juga menghias buku ini. Misalnya ada genta uter, genta orag, ketipluk, dan lain-lain yang belum banyak diketahui umat. Dengan demikian, kehadiran buku ini tidak hanya sekadar menambah kepustakaan Hindu, namun juga menjadi bacaan menarik dan acuan bagi mahasiswa atau peneliti dalam melakukan penelitian sosiologi agama.